Miskinnya Rasa Pemberantasan Kemiskinan

Telah banyak program pemberantasan kemiskinan yang sudah dijalankan oleh pemerintah kita. Mulai dari bantuan langsung tunai, beras, fasilitas keluarga miskin, dan lain-lain. Meskipun sudah beberapa waktu berjalan, program-program tersebut tampak belum mampu menuju ke sasarannya yaitu pengentasan kemiskinan. Aku tidak tahu angka-angka realisasi program itu yang tentunya sudah dipresentasikan secara sukses oleh pejabat operasional ke atasannya, dan cascading sampai dengan juragan besar. Namun dari pengamatan penglihatanku sehari-hari ketika berinteraksi sosial di jalan, dalam suatu komunitas, atau bahkan yang menyangkut pekerjaan formal, nuansa kemiskinan masih tampak nyata.

Sederhana saja. Tengok sebentar di sekitaran lampu lalu lintas. Ada berapa banyak manusia yang menggantungkan nasib kepada menyalanya lampu merah. Pengemis itu wajib ada. Pengamen, barangkali dia diseting menjadi pengiring rengekan si pengemis. Loper koran, pekerjaan halal dan manusiawi yang sering diagung-agungkan dalam banyak hal sampai disinetronkan, tetap tidak bisa membungkus rapi adanya aroma kemiskinan di belakangnya.

Apa yang salah sih? Sebab aku yakin telah banyak ahli pikir dan profesor dari berbagai macam disiplin ilmu yang ikut nimbrung dalam penyusunan program pemberantasan kemiskinan ini. Orientasinya cuma satu, bagaimana kemiskinan bisa diberantas.

Aku jadi ingat suatu cerita, yang entah aku baca di mana.

Sakwijining dino, ada suatu pertapa atau orang yang lebih tahu tentang hidup, yang secara periodik turun ke desa untuk mengajarkan kedermawanan bagi orang kaya. Penampilannya yang sangat sederhana bahkan mengesankan compang-camping mampu ditutupi dengan tutur katanya yang bagus dan isi ceramahnya yang berbobot. Tentang kedermawanan.

Terdorong oleh kebenaran ucapannya, banyak orang kaya yang menjadi pengikutnya. Di antara orang kaya tersebut, ada seseorang yang sangat ingin mengikuti aktivitas kehidupan si pertapa secara langsung. Setelah mendapat persetujuan si pertapa, akhirnya mereka berdua pergi ke tempat si pertapa. Tempat pertapa itu ada di tengah hutan, berupa gubug bambu, tanpa kamar, dan hampir tidak ada peralatan rumah selain alat untuk memasak.

Apa yang terjadi ketika orang kaya itu melihat tempat si pertapa?

Berucaplah dia,” Hai pertapa, bagaimana kamu bisa mengajarkan kedermawanan, sementara kamu sendiri miskin? Bisa saja kamu mendapat wahyu atau semacamnya, tetapi jika kamu sendiri tidak pernah merasakan kaya, bagaimana mungkin kamu bisa mengajarkan diriku tentang kedermawanan?”

Maka batallah rencana si orang kaya untuk menjadi murid dari si pertapa itu.

Pyuuh… susah betul bercerita ya…

Salut buat novelis macam Andrea Hirata dan lainnya yang mampu menerbitkan buku cerita sampai berjilid-jilid 🙂

 

Lha terus apa hubungannya dengan program pemberantasan kemiskinan ini?

Program pemberantasan kemiskinan pastilah disusun oleh orang-orang pintar yang hampir pasti tidak pernah merasakan miskin di zaman sekarang ini. Pengetahuan tentang kemiskinan didapat dari ilmu-ilmu akademis, penelitian ilmiah, dan semacamnya yang bersifat formalitas. Teori dengan dasar rasionalitas menjadi pondasi dalam penyusunan program ini.

Teori dan rasa bukanlah dua hal yang berlawanan yang bisa dipertentangkan. Namun teori bukanlah rasa. Teori bisa bicara tentang rasa, tentang perasaan, tetapi teori sendiri tidak mempunyai perasaan.

Apakah sama besar, rasa senang yang didapat oleh dermawan ketika bersedekah dibanding dengan rasa senang yang didapat oleh si fakir pada saat menerima sedekah? Sesuatu yang nisbi. Tidak seorang pun bisa menilai seberapa dalam rasa itu.

Nah, kembali lagi kepada pemerintah tentang programnya ini, seberapa dalam niat tulus punggawa-punggawa negara yang menyusun program pemberantasan kemiskinan dibandingkan dengan besarnya harapan kaum miskin. Bisakah dibilang sama besar, jika program ini tidak menghasilkan benteng yang kokoh dari keterpurukan kaum miskin, baik secara harta maupun hak. Penggusuran pedagang kaki lima, penangkapan pekerja seks, penggarukan tunawisma untuk dibuang di area lain, bahkan perlindungan terhadap tenaga kerja wanita pun tidak berjalan dengan semestinya. Ini hanya contoh kecil yang kasat mata.

Mohon maaf, Anda yang membaca ini telah terjebak kepada pembahasan yang irrasional. Namanya juga wacana batin :-p.

Amalan itu dinilai dari niatnya. Petuah sederhana ini seharusnya menyentil kita dalam setiap tindakan sehari-hari.

Energi ada yang positif dan negatif. Yin dan Yang. Putih dan hitam.

Kesetimbangan yang terjadi antara dua energi yang berlawanan ini bisa menghasilkan sesuatu sangat tidak terduga sebelumnya.

Percaya? Cobalah para punggawa pemerintah menikmati proses merasakan kemiskinan dalam penyusunan program ini.

Rasakan akan harapan tentang kebutuhan dasar yang belum pasti dapat dipenuhi esok hari.

Rasakan tiadanya pegangan hukum manakala bersinggungan dengan individu atau kelompok lain di dalam realitas sosialnya.

Rasakan gagalnya menjadi seorang manusia ketika pribadi lain yang bergantung secara ekonomi terhadap dia sudah tidak bisa terlalu menaruh harapan lagi.

Menjadi bertambah buruk lagi ketika sercercah harapan yang digelontorkan pemerintah tidak bisa memenuhi harapannya.

Jika tidak bisa, sertakan kaum miskin di dalam proses penyusunan program agung ini. Seperti halnya hakim yang jika tidak menguasai suatu disiplin ilmu tertentu, akan mengundang saksi ahli dalam proses persidangannya.

Penyusunan program pemberantasan kemiskinan tanpa mengetahui rasa miskin? No way. Jangan terlalu berharap akan hasil. Nikmati saja dulu prosesnya.

Salam miskin…

Explore posts in the same categories: Ngomyang

Tag: , , ,

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

6 Komentar pada “Miskinnya Rasa Pemberantasan Kemiskinan”

  1. komandane Says:

    Om, beruntunglah kita-kita yang pernah mengalami menjadi “gelandangan”.

  2. delenger Says:

    Gelandang? Ah, loe aja kali guwa enggak :-p
    Gw kan kanan luar,
    luar sistem,
    ga pernah kebagian…

  3. paijo Says:

    gelandangan oh… gelandangan

  4. denok Says:

    miskinnya rasa pemberantasan kemiskinan, karena para pejabat elit politik kita (kita? elo aja kali gue enggak…awas ya! wong kita sama2 di negeri yang sama…hehe), masih merasa kere, mlarat dengan harta dan kekuasaan yang melimpah ruah, buktinya masih byk pejabat yang korupsi…wahai pejabat, harta dan kekuasaan apalagi yang kan kau raup utk menjadikanmu merasa “kaya”? merasa tercukupi? utk bisa segera memberantas kemiskinan di negerimu, wahai pejabat?
    Dadi uwong kok raiso bersyukur??? Bat..bat…

  5. Denok Says:

    eh…malah muring2 ya?? maaf2..
    Peace, brow..

  6. delenger Says:

    muring-muringlah selama muring2 belum dilarang:-p
    sakjane program yg sekarang wis benul. langsung tepat sasaran. langsung ke objeknya langsung yaitu orang miskin. jadi ga usah ngurusi sistemnya. ya to.
    org miskin sakit, tolak aja masuk rumah sakit. ga usah disubsidi raskin, minyak, blt, dll. lama-lama orang miskinnya habis (mati), program pemberantasan kemiskinan otomatis berhasil.


Tinggalkan Balasan ke denok Batalkan balasan