Nasionalisme Jeruk

Di suatu malam, di ujung bulan.

“Dimakan jeruknya, Noe.”

Bapak menyuruhku mengambil buah-buahan untuk cuci mulut pasca makan malam ini.

“Siap,” jawabku sigap.

Kalo untuk urusan makan memakan aku hampir tidak pernah rendah diri meskipun kadang ada sedikit minder dengan kelas keluarga besar ini. Aku mengambil jeruk lokal yang ada di meja.

“Kenapa tidak milih yang impor, padahal lebih enak?” pancing bapak.

“Pengennya sih begitu, Pak. Tapi nggak enak, soalnya Bapak makan jeruk lokal. Tapi kenapa sih selalu ada jeruk lokal di sela-sela jeruk import yang tampangnya menggairahkan?”

“Kamu belum ngerti juga,” dari gaya bahasa tubuhnya, bapak sudah mulai menunjukkan gejala mengeluarkan kuliah malam. Kalo sudah begini bisa sampai dini hari kami ngobrol ngalor ngidul tentang kahanan ing donya. Lebih tepatnya ada pembagian tugas, satu berbicara dan yang satu mendengarkan.

Mengingat sebentar lagi aku akan tidak ada pekerjaan, aku memutuskan untuk mengantisipasi obrolan pasca makan malam ini agar tidak berkembang jauh.

Stop press : tidak ada pekerjaan artinya aku harus bekerja mengistirahatkan badan, leyeh-leyeh, ngolat-ngolet, ongap-angop, sementara telapak tangan fitness dengan remote kontrol. Bau kasur sudah kentara di cuping hidung. Tidak ada pekerjaan adalah pekerjaan yang terpenting dalam sejarah hidupku. 😀

“O iya, saya ingat. Kalo bukan kita yang mengkonsumsi, siapa lagi yang bisa memutar modal petani pribumi. Meskipun produknya masih kalah kelas dibanding produk luar,” jawabku mengoreksi pertanyaan bodohku tadi.


Barang apapun yang akan kita beli, jika ada yang hasil produksi lokal, maka kita harus mendahulukannya. Misalnya jeruk tadi, katakanlah kita ingin membeli jeruk lokam atau argentina, jika di situ ada jeruk pontianak atau jeruk lokal lainnya, maka wajib hukumnya kita harus membelinya secara komplementer dengan jeruk luar tadi. Syukur-syukur kita sudah merasa cukup dengan jeruk lokal tadi. Demikian halnya dengan hasil produksi lain.

Ini adalah salah satu tindakan nyata yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk menghargai karya bangsa. Sangat mudah dan realistis.

Bapak terlihat puas, atau tepatnya lega, dengan jawabanku.

Bapak adalah salah satu orang yang aku segani. Bukan karena jabatan atau kekayaannya, melainkan dari kepribadiannya yang sederhana dan sangat nasionalis. Jabatan sebagai komisaris salah satu bank BUMN, atau ketua umum salah satu organisasi nasionalis tingkat nasional, atau sebagai guru besar di suatu universitas besar, atau penasihat beberapa punggawa negeri ini, atau ahhh… terlalu buanyak untuk disebutkan, tidak tampak dibawanya dalam percakapan kami sehari-hari. Atau tatkala ngobrol ngangkring di halaman belakang beserta seluruh anggota keluarga, termasuk pembantu, sopir, dan tukang kebunnya. Hanya nilai rasa yang membedakan antara beliau dan pejabat-pejabat kebanyakan yang pernah aku temui.

Misalnya untuk urusan laporan SPT. Pada zaman para punggawa negeri ini belum sadar kewajibannya –sebelum disadarkan oleh efek domino reformasi dan sekedar melabelkan diri sebagai politisi baik-, bapak sudah biasa meluangkan waktunya khusus untuk menghitung daftar kekayaannya. Tidak boleh ada noktah harta pun yang terlewat untuk dilaporkan ke negara.

”Rumah ini kira-kira berapa, Noe?” tanya bapak retoris.

”Kan bisa dilihat di tagihan PBB. NJOP-nya,” jawabku, ”tinggal mak ceplok masuk laporan.”

”NJOP kita sudah tidak uptodate lagi. Entah bagaimana cara mereka (orang pajak) bekerja. NJOP rumah ini masih 600 jutaan. Padahal nilai jual sebenarnya mungkin sampai dengan 3 milyar. Ayo, kamu ada uang berapa. 3M lunas deh. Nanti bapak pindah ke Ibukota,” canda bapak serapa menuliskan Rp 3.000.000.000,00 di SPT.

“Nanti kan perhitungannya malah kacau jika mereka kroscek dengan PBB. Tidak khawatir pajak PBBnya dinaikkan?”

“Wah, cara berpikirmu sudah benar-benar kapitalis. Hwahaha…”

“Saya tidak pernah mengirim SPT. Seharusnya mereka yang melaporkan pajak yang telah kita bayar, bukan kita yang harus membuat laporan. Bayar pajak sudah, eh, disuruh bikin laporan juga,” sanggahku, ”sudah 2 periode saya tidak mengirim laporan.”

”Itu jika sistem kontrol negara sudah sangat bagus bisa memonitor pergerakan uang dari recehan sampai segepok giro. Kamu bayangkan sendiri, usaha dagang di sini banyak yang tanpa izin usaha, yang otomatis tidak ada pelaporan pajak. Padahal transaksi uang itu salah satunya bisa dicatat dari faktur-faktur itu. Anggap saja ini bagian dari pendewasaan negeri ini.”

Rutin setiap minggu beliau pulang pergi dari Ibukota Negara ke Ibukota Kerajaan. Naik Garuda. Bahkan pada saat perusahaan penerbangan BUMN ini turun pamor akibat banyak bermunculan airways-airline yang lain, beliau tetap kekeuh untuk memakai jasa transportasi ini. Termasuk ke luar negeri, jika ada rute Garuda, beliau pasti akan naik burung ini.

“Siapa lagi yang akan menghargai karya anak bangsa. Katakanlah pesawatnya jelek, sering delay, pramugarinya peyot-peyot. Anggap saja ini bagian dari pembangunan nasional. Perjalanan panjang masa depan negeri ini.”

“Pesawatnya jelek kan berkonotasi dengan ketidakamanan. Kemungkinan kecelakaan lebih besar,” tanggapku.

“Pesawat jatuh dan kita mati hanyalah masalah takdir. Berarti takdir kita untuk mati dengan membawa niat kemajuan negeri ini. Itu sesuatu yang mulia. Kalo orang mati saat sedang berniat tobat maka Tuhan akan membukakan pintu kemuliaan. Coba kamu cari referensi dari sisi agama, jika orang mati saat membawa niat membangun negeri itu hukumnya bagaimana.”

Aku mundur teratur kalo ditanya masalah dalil agama. Memang bapak selalu mengambil sudut nasionalis. Untuk sisi agama beliau menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Padahal aku sendiri untuk masalah nasionalis blank, masalah agama hang.

”Kamu lihat di meja ini saja. Berangkat dari meja makan ini, banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk negeri ini. Tidak usah terlalu tinggi dulu. Apalagi ngomong isme-isme yang mungkin narasumbernya sendiri tidak mengerti juga tentang apa yang dianutnya.”

Bapak mengambil jeruk, kemudian menunjukkannya padaku,”Jeruk.”

Setelah meletakkan jeruk, mata beliau mencari-cari lagi objek yang ada di meja makan.

”Nasi.”

”Rice cooker.”

Masih ada beberapa lagi benda yang ditunjukkan oleh bapak sekedar untuk mengingatkanku bagaimana jalan sederhana yang bisa dilakukan untuk membangun negeri ini.

”Operator seluler juga?” tanyaku sambil menunjuk ponselku yang tergeletak di meja dan memakai produk operator CDMA Telkom. Terus terang pada saat itu aku ingin dipuji bapak, karena aku memakai produk operator BUMN baik CDMA maupun GSM.

”Betul, harus juga kita lihat siapa di belakang operator itu. Di operator mana, negara masih bisa mengendalikan kelangsungan kebijakannya. Meskipun operator dengan saham mayoritas luar sudah dikendalikan dengan aturan-aturan, termasuk beban pajak yang disumbangkan kepada negara, namun aturan itu hanya sebatas aturan.

Hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan negara –katakanlah strategis- terkadang masih bisa dikalahkan. Itu karena sifatnya lebih teknis, tidak hanya sekedar pemasukan pajak dan penyerapan tenaga kerja.”

”Toh tenaga kerja juga sudah outsourcing semua,” timpalku sok tahu.

”Yup. Perbudakan modern ini. Bisa jadi karena pembuat aturan itu tidak pernah memperhatikan makanan yang tersaji di meja makan setiap hari,” sambil berkata begitu, bapak mengambil sebuah jeruk lokal lagi. Menimang-nimang di telapak tangannya.

Filosofi jeruk.

“Bapak hanya ingin kamu mengerti tentang filosofi jeruk ini sebagai nilai dasar pengambilan keputusanmu ke depan. Nilai atau value yang harus kamu percayai sebagai kebenaran untuk sumbangsih negeri ini, sebelum nanti kamu getok-tularkan, dan syukur-syukur menjadi perilakumu sehari-hari.

Di negara ini, masih terbuka bagi isme-isme yang ingin menunjukkan jati dirinya. Kapitalis boleh dominan di sini, liberalis bisa nyaman di sini, mungkin juga komunis dan fasis, dan masih banyak lagi. Jika di setiap diri individu warga negara ini sudah paham terhadap filosofi jeruk ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Hal terpenting adalah kita jangan saling menyalahkan, menjatuhkan, black campaign. Itu tidak ada dalam ajaran pendahulu kita.”

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Jika setiap yang menempel di badan kita, apakah itu kancing baju, benang jahit, arloji, ponsel, dll, serta setiap yang bersinggungan dengan aktivitas kita, sudah kita landasi dengan nilai-nilai nasionalis.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tentu saja jika nilai ini juga dibawa oleh punggawa-punggawa negeri ini yang saat ini sedang menabuh genderang narsis untuk mencari massa.
.
.
.
.
talang, 20090518
Selamat Hari Kebangkitan Nasional

Explore posts in the same categories: Satire

Tag: , , , , , , , , , , , ,

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

25 Komentar pada “Nasionalisme Jeruk”

  1. Taktiku Says:

    manis asem dong 😀

  2. suryaden Says:

    refleksi yang keren, sesegar jeruk di meja itu…
    memang kalo pondasi berpikir dan paradigmanya untuk membangun bangsa dengan cara-cara yang positif niscaya apapun aral melintang bisa diselesaikan dengan senyuman kemenangan bersama….

  3. guskar Says:

    siapun berhak makan jeruk. hati-hati kalo ngupas jeruk mas. kalo kulitnya terkelupas dengan hentakan cukup keras dengan kuku-jari, airnya bisa muncrat, kena mata bisa terasa sangat perih. apalagi jeruknya masih kemampo, kecut, makin perih saja di mata.
    ayo bangkit dari kelenaan jerukisme… kita masih punya jeruk bali, jeruk pontianak, jeruk tawangmangu, kenapa mesti jauh2 mencari jeruk bangkok atau jeruk swiss.

  4. ~noe~ Says:

    @taktiku
    bisa manis bisa asem 😛

    @suryaden
    setuju, om. kita harus optimis di tengah para kaum oportunis mencari hidup dan kehidupan.
    tks udah nangkep intisarinya bahkan bisa kasih pencerahan lebih 🙂

    @guskar
    wah, terus terang aku ngga nangkep arahnya ke mana ini pak dhe. kaya di blognya saja, penuh dengan wacana ndremimil jahil 😀
    ilmuku belum nyampe kali ya 😦

    • guskar Says:

      hua..ha..ha… omonganku nggak jelas ya mas… mau ngomongin nasionalisme kok ndremimili jeruk pontianak barang ya…
      tapi terus terang, jerukmu manis tenan.

      • ~noe~ Says:

        eitss…
        kalo ‘nggak jelas’ itu masalah penyampaian.
        kalo ‘nggak nangkep’ itu masalah yg mendengarkan. masalah ada di diriku yg nggak nangkep.
        soale analogi permisalannya harus beberapa kotak ke depan. padahal mikir satu langkah saja kemut-kemut.
        thanks sharingnya, om…

  5. wahyoe Says:

    jeruk????
    haem haem haemmmmm…

  6. Yasir Alkaf Says:

    uh, jarang sekali ada orang yg sprti ayah kmu itu. beruntunglah dirimu [klo tulisan ini true story lho…]
    ^_^

  7. ~noe~ Says:

    @wahyoe
    nyam nyam juga 😛

    @yasir
    ini true story
    cuma beliau bukan bapak kandung.
    beberapa dari nilai itu mudah2an bisa aku jalani karena sangat sangat sederhana implementasinya.
    tks, om untuk apresiasinya.

  8. masicang Says:

    bukannya pengisian SPT tahunan bagian harta adalah nilai perolehan ams noe? bukan nilai saat ini? mau NJOPnya up to date apa ngga kan ngga ada amsalah. hayo piye?

    perbudakan kui kan kalau mbabu tanpa pamrih atau imbalan. lah outsourching digaji kok ya? kadang kalau nyuciin mobil malah dapet bonus.. hehe

    filosofi jeruk. jeruk makan jeruk bukan?

    • ~noe~ Says:

      @masicang
      tks masukannya.
      seingatku ada beberapa formulir SPT, dan aku ingat waktu itu memasukkan harga beli dan tahun, tapi karena sudah berkembang dari kaplingan menjadi rumah besar, beliau memasukkan harga sekarang di keterangan. kalo ga salah di formulir 1770s di bagian agak bawah ada isian daftar harta posisi akhir tahun. kolom-kolomnya aku lupa. aku sendiri belum pernah mengisi.

      kalo istilah perbudakan modern, coba masicang tanyakan kepada pelaku di dunia praktisi sana, khususnya mereka yang sudah putus sambung kontrak beberapa kali dengan masa kerja puluhan tahun. aku dengar istilah ini dari mereka. dan mungkin mereka yang lain punya istilah lain pula.

      tks berratt masicang… 😀

  9. madi Says:

    iyaaa.. hidup produksi lokal!!!

  10. casual cutie Says:

    jeruk enak dipake rujak lo…

  11. ~noe~ Says:

    @madi
    setuju !!!

    @casual cuties
    wah kalo ngerujak enakan mangga muda plus bengkoang 😀
    jeruk gak enak kalo dicocol ke sambal kacang…

  12. wahyu Says:

    tumben, bentuk tulisan sampeyan tidak seperti biasanya. kesannya sedikit ‘bener’ lan formal. Kaku. Hmm.. mungkin seperti itu ya suasananya kalo lagi ngobrol sama ‘bapak’ sampeyan. hehe..

    setuju om, cintailah produk dalam negeri. termasuk kalo bisa laptopnya dalam negeri juga. hehe..

  13. ~noe~ Says:

    @om wahyu
    memang sejauh ini yg paling susah adalah menjaga mood, menjaga kestabilan ciri tulisan.
    akhirnya memang semua kmbali ke suasana pas nulis, bahan ceritanya, tingkat kesulitan materinya 😀
    nggaya 🙂
    kalopun dipaksakan harus bercirikhas ~noe~, hasilnya malah wagu poll. wis to tenan …
    tks kripiknya om.

  14. casual cutie Says:

    jeruknya ga pake sambal kacang. cuma dipakein gula, garam sama cabe. hehehe

  15. annosmile Says:

    filosofi jeruk memang cukup dalam
    saya baru tau mengenai filosofi jeruk tersebut
    maksih sharenya
    semoga bangsa kita segera bangkit dari keterpurukan

  16. Irfan Says:

    Lokal is the best … Hehehe…

  17. ~noe~ Says:

    @casual cuties
    itu menu baru untuk rujak ye.. 😛

    @annosmile
    thanks komennya, om
    pokoke maju terus tetap touring…

    @irfan
    setuja dengan dirimu

  18. D Says:

    Prinsip aku sebagai perempuan penentu pengadaan barang-barang di rumah tangga :
    1. beli kalo butuh
    2. beli produk lokal kalo berkualitas,
    3. gak mau beli produk impor kalo ga berkualitas dan ga terjangkau harganya.

    Gimana kalo semua orang berprinsip jeruk lokal, dagangan kita di luar negeri juga bisa ga laku dong?
    Kompetitor impor juga kan harus dipelihara supaya lokal bisa lebih baik. Karena pasar adalah responden yang paling jujur…
    Sekedar wacana 🙂

  19. ~noe~ Says:

    @D
    prinsipnya setuju denganmu, d, karena ini adalah pegangan dari hampir semua orang -khususnya ibu2 :D- dalam membarter duitnya dengan barang/jasa.
    namun ada yang perlu diluruskan di sini, yaitu bahwa jeruk lokal adalah sebagai komplementer jeruk impor, jika kita ingin membeli jeruk impor. ini sebagai tindakan pencegahan matinya produk lokal kita selama kebijakan pemerintah belum bisa menyentuh pengusaha lokal kecil-menengah. bukan dalam mekanisme pasarnya -karena dari perdebatan di manapun ekonomi pasar masih menang- melainkan pada support pemerintah terhadap upaya2 wirausaha masyarakatnya. tidak sekedar mengeluarkan ijin dagang, nomer produksi, stempel halal, atau hal yang bersifat administrasi lainnya, namun seharusnya juga pada sisi kompetensi wirausaha.
    wah, aku merasa jadi ahli dekonomi nih 😀 (delenger ekonomi)

  20. Arie Says:

    Hmmmm… Bapak kost mu emang hebat tenan…


  21. You completed various nice points there. I did a search on the theme and found nearly all persons will agree with your blog.


Tinggalkan komentar